Entah karena kamu pendengar yang baik atau memang orang di sekelilingmu sedang memiliki banyak masalah, akhir-akhir ini temanmu sering curhat masalah cinta. Saat itu terjadi, apa yang biasanya kamu lakukan—atau apa seharusnya kita lakukan? Apakah hanya cukup menjadi pendengar yang baik, atau perlu memberikan solusi? Hm, membingungkan.
Well, untuk mencari tahu jalan keluarnya, LIMONE menghubungi Rebeka Pinaima, M.Psi., Psikolog, seorang psikolog klinis dewasa di Pion Clinician, founder Komunitas Cinta Setara , serta co-founder Aramsa.
Mungkin tidak jarang kamu bertanya-tanya: kenapa sih, teman sering kali curhat masalah cinta kepadamu. Iya, kepadamu—bukan konsultasi online.
“Bercerita ke teman merupakan salah satu cara praktis agar seseorang dapat menghadapi dan mengatasi permasalahannya, dengan kata lain merupakan salah satu cara coping stress,” kata Rebeka.
Dengan bercerita, seseorang dapat mengeluarkan uneg-uneg dan mengurangi tekanan yang dirasakannya (pendekatan emotion-focused coping stress). Bercerita juga dilakukan seseorang dengan tujuan untuk memperoleh solusi (pendekatan problem-focused coping stress).
Namun ada sisi lain dari mendengarkan curhat dan memberikan solusi: saran tersebut bisa berpotensi menjadi isu baru. Pasalnya, belum tentu solusi tersebut tepat. Plus, teman kita belum tentu merupakan orang yang paling memahami persoalan yang diceritakan.
“Bisa jadi teman tersebut merupakan orang yang sangat awam seputar masalah yang diceritakan, sehingga terdapat kemungkinan ia bersikap subjektif maupun kurang memiliki dasar yang tepat dalam menyampaikan tanggapan atau memberikan solusi atas masalah seseorang,” tambahnya.
Terlebih lagi, setiap individu itu unik dan dapat menyikapi suatu kejadian yang sama dengan perspektif yang berbeda. “Belum tentu suatu solusi yang tepat mengatasi persoalan si A, dapat menjadi solusi terbaik untuk mengatasi persoalan si B. Dengan demikian, saat seseorang terlibat dalam masalah yang bukan urusannya, bisa saja ia justru menambah peliknya persoalan maupun isu dari permasalahan semula,” imbuhnya.
Dan jika situasi bertambah pelik, “alangkah baiknya apabila orang-orang yang terlibat dalam masalah mengambil waktu untuk merefleksikan masalah tersebut. Penting untuk introspeksi diri dan memahami lagi, sejauh mana ia relevan, berkontribusi, serta mengalami dampak dari persoalan tersebut,” ujarnya.
Menurut Rebeka, iika memungkinkan, individu-individu yang memang relevan dengan masalah sesungguhnya selanjutnya menginisiasi sebuah diskusi yang dapat meluruskan duduk permasalahan, serta mencapai kesepakatan yang sifatnya win-win.
“Apabila masalah tersebut sangat pelik, tidak ada salahnya mendiskusikan hal tersebut bersama dengan seorang profesional, misalnya psikolog, konselor, atau konsultan, tergantung permasalahannya,” sarannya.
Ah, penjelasan di atas mungkin membuatmu urung dan bingung tentang apa yang sebaiknya dilakukan saat teman curhat tentang masalah cinta atau pernikahan. Apa respons yang sebaiknya kita berikan? Apakah baik untuk terlibat dan misalnya, berperan sebagai mediator di antara pihak yang bermasalah? Antara suami dan istri yang bertikai?
“Keputusan yang paling bijak adalah tidak ikut campur dan mengintervensi masalah pernikahan orang lain. Kita belum tentu memahami persoalan rumah tangga orang lain dengan baik. Penting mengingat, we are not in their shoes, and we might not know what is best for them and their marriage,” jawab Rebeka.
Selain itu, “bisa saja kita memiliki bias tertentu sebagai seorang teman, dan berpotensi memberikan saran-saran yang kurang netral atau sangat berpihak pada teman kita sendiri,” tambahnya.
Jadi, apa yang sebaiknya dilakukan?
Menurut Rebeka beberapa respon yang sekiranya dapat kamu berikan antara lain menawarkan diri untuk menampung uneg-uneg saja atau menemani teman kita venting out.
“Selain itu, apabila teman secara spesifik meminta saran dan solusi, sebaiknya kita menganjurkan agar teman kita berkonsultasi dengan ahli atau profesi yang sesuai dan kompeten. ini untuk membantu menjawab permasalahan yang sedang teman kita hadapi,” sarannya.
Teman sedang memiliki masalah cinta atau pernikahan yang pelik, dan kamu diminta olehnya untuk menjadi mediator. Namun setelah menimbang dan memikirkan dengan matang, kamu ingin menolaknya. Bagaimana melakukannya tanpa membuat teman berpikir kamu ‘tidak peduli pada kondisinya”?
“Berempati serta komunikasi asertif menjadi kunci untuk menolak menjadi mediator, sekaligus menunjukkan bahwa kita tetap peduli dengan kondisi teman,” terangnya.
Menyampaikan empati dan memvalidasi perasaan teman, misalnya dengan mengatakan:
“Sementara itu, berkomunikasi asertif dan terbuka dapat membantu kita menyampaikan penolakan kepada teman berdasarkan pertimbangan yang jelas dan reasonable, untuk membantu teman memahami alasan kita tidak dapat menyanggupi permintaan mereka tersebut,” tegasnya.
Oh, temanmu tetap saja meminta saranmu?
“Apabila teman kita memang meminta saran dari kita, tetapi mereka sebetulnya masih merasakan emosi negatif yang kuat dan membuat mereka sangat tertekan, sebaiknya kita menganjurkan mereka untuk melakukan aktivitas yang menenangkan diri terlebih dahulu,” saran Rebeka.
Selanjutnya?
“Apabila mereka sudah merasa lebih tenang dan meminta sebuah solusi, beberapa saran yang dapat disampaikan yaitu untuk tetap mencoba mendiskusikan masalah pernikahan mereka dengan pasangan masing-masing terlebih dahulu. Atau dengan psikolog/konselor/terapis pernikahan apabila masalah pernikahan mereka memang sangat kompleks,” pungkasnya.