Apa Itu Narsis Dan Apakah Kamu Sedang Membesarkan Anak Yang Narsis?

apa-itu-narsis-dan-apakah-kamu-sedang-membesarkan-anak-yang-narsis
                

Jika namamu disandingkan dengan kata “narsis”, kemungkinan besar kamu akan panik. Apalagi jika memikirkan si kecil memiliki kepribadian. Apa itu narsis, dan apakah memang negatif? Benarkan? Pasalnya, sebuah studi menunjukkan para narsis lebih bahagia daripada yang lain.
Untuk menjawab kekhawatiranmu tentang bagaimana agar anak tidak menjadi pribadi yang narsis, LIMONE menghubungi Ayunda Shabriani Tyara, M.Psi., Psikolog, seorang Psikolog Klinis Anak dan Remaja di PION Clinician. Ini penjelasan beliau tentang apa itu narsis dan bagaimana agar anak memiliki kepercayaan diri yang sehat.

Apa Sebenarnya Definisi Narsis?

Foto: www.unsplash.com

Ayunda menjelaskan bahwa secara harfiah, narsis merupakan rasa mencintai diri sendiri secara berlebihan. “Hal tersebut membuat seseorang merasa bahwa dirinya adalah sosok yang paling penting dan paling mampu di segala hal, bersikap egois, tidak mau memperhatikan orang lain. Serta cenderung melakukan berbagai hal—bahkan yang bertentangan dengan norma—untuk mendapatkan keinginannya,” terangnya.
Bagaimana anak bisa menjadi narsis?
Menurutnya, kepribadian adalah sesuatu yang terbentuk melalui banyak faktor, di antaranya faktor bawaan, pola asuh, juga lingkungan. “Namun ada beberapa bentuk pola asuh yang dapat berpotensi meningkatkan kemungkinan anak mengembangkan perilaku dan kepribadian narsis,” katanya. Di antaranya:
Memuji anak secara berlebihan
Kerap memuji anak terus-menerus secara berlebihan, sehingga membuat anak merasa dirinya spesial.
Orang tua terlalu protektif
Orang tua yang terlalu protektif, dan berupaya berlebihan untuk menghindari terjadinya situasi-situasi yang dapat membuat anak tidak nyaman.
“Misal, meminta guru sekolah agar anak masuk kelompok belajar/bermain yang berisi teman-teman dekatnya saja. Padahal dengan masuk ke dalam kelompok belajar/bermain yang beragam, anak dapat mengembangkan kemampuan adaptasi sosialnya,” ujarnya memberi contoh.
Memenuhi segala permintaan anak
Langsung memberikan segala sesuatu yang diminta, ataupun langsung membantu anak saat ia melakukan sesuatu. “Padahal, hal tersebut dapat menghalangi anak untuk belajar berupaya dalam mendapatkan sesuatu. Imbasnya, anak menjadi tidak terampil di banyak hal,” jelasnya.
Terlalu Melindungi anak dari rasa gagal dan sedih
Terlalu melindungi anak agar ia tidak merasakan kegagalan, kesedihan, perasaan frustrasi, maupun kecewa. Dan kalaupun anak terlanjur merasakan hal tersebut, orang tua ingin segera menghilangkan perasaan tersebut dengan berbagai macam cara. “Padahal, penting dan baik sekali bagi anak untuk belajar memproses berbagai emosi yang dirasakannya,” tegasnya.
Dalam hal ini, menurut Ayunda, salah satu yang bisa dilakukan orang tua adalah mendampingi, namun tidak mengintervensi. Serta membantu anak untuk sepenuhnya memahami emosi yang dirasakan anak dengan menanyakan apa yang dia rasakan, bagaimana sensasinya di tubuhnya, momen apa yang membuat kamu merasakan hal tersebut. Plus, mencari tahu apa yang sekiranya bisa si anak dan orangtua lakukan agar perasaan tersebut berkurang, apa yang bisa dilakukan ke depannya).
Apakah Anak yang Narsis adalah Sesuatu yang Negatif?

Foto: www.unsplash.com

Menurutnya, pada dasarnya, di rentang usia tertentu, wajar bagi anak untuk menampilkan sikap-sikap yang mungkin dapat dipersepsikan orang lain sebagai ‘narsis’. Sebab pada usia tersebut—biasanya pada usia awal (3-6 tahun) dan terulang lagi saat beranjak remaja—ia sedang mengembangkan berbagai kemampuan. Mulai dari mengelola emosi, mengenali diri sendiri, serta dalam proses memahami bahwa dirinya merupakan entitas yang berbeda dengan orang lain.
“Mereka pun sudah lebih memahami apa yang ia inginkan sehingga anak berusaha mengomunikasikan apa yang mereka mau, meski cara yang ditampilkan terkesan terlalu egosentris. Jika disikapi dengan tepat, diharapkan melalui fase tersebut anak justru belajar bagaimana cara meminta yang baik. Bagaimana cara mengelola emosi—terutama emosi negatif. Dan menjadi lebih paham bahwa orang lain di luar dirinya juga sama-sama memiliki perasaan, kebutuhan, dan keinginannya masing-masing,” tekannya.
Bagaimana jika orang tua membiarkan gejala kepribadian narsis ini?
“Jika tidak disikapi dengan baik, narsistik dapat berisiko membuat anak kesulitan dalam berteman dan bersosialisasi. Dan lebih rentan terhadap cemas dan depresi, serta berbagai kesulitan dalam aspek kehidupan lainnya karena kurang mampu menilai segala sesuatu/situasi secara realistis,” terangnya.
Seberapa Besar Pengaruh Orang Tua dalam Kepribadian Anak?

Foto: www.freepik.com


Oh, apakah anggapan bahwa “emang udah dari sononya narsis” ada benarnya?
“Kepribadian merupakan hal yang kompleks, terbentuk dari berbagai macam faktor. Pun terkait karakter narsistik ini. Kombinasi faktor-faktor seperti pola asuh orang tua, lingkungan, bahkan genetik dapat mempengaruhi seseorang dalam mengembangkan karakter narsistik di sepanjang hidupnya,” paparnya.
Ayunda menerangkan bahwa pada kehidupan awal anak, orang tua menjadi role model utama bagi kehidupan anak.
“Orangtua yang narsis memiliki kemungkinan besar untuk mengasuh anak dengan nilai-nilai narsisme. Misal, menyalahkan pihak lain saat anak mengalami hal yang tidak menyenangkan. Saat anak terjatuh, orangtua lebih memilih menyalahkan batu di depan anak dibandingkan mengajari anak untuk lebih berhati-hati dan melihat ke sekitar saat berlari,” jelasnya.
Namun di sisi lain, orang tua yang tidak narsis juga dapat berpotensi mengembangkan anak berperilaku narsis. “Misal, orang tua terlalu sering memberikan penilaian negatif pada anak ataupun kerap membanding-bandingkan anak dengan orang lain. Sehingga anak mengembangkan nilai-nilai narsisme—bahwa ‘saya pintar, saya hebat, saya bisa melakukan apa saja yang penting saya mendapat yang saya inginkan’—sebagai bentuk pertahanan diri (self-defense),” paprnya.
Bagaimana Cara Mengenali Anak yang Memiliki “Bakat” Menjadi Narsis?

Foto: www.freepik.com


Ada beberapa cara mengenali “bakat” narsis dalam diri anak. Berikut di antaranya:

  • Anak terlihat merasa bahwa keinginannya harus terpenuhi.
  • Anak terlihat kesulitan memahami kebutuhan orang lain.
  • Si kecil selalu merasa bahwa dirinya paling penting.
  • Anak kerap mengharapkan pujian yang berlebihan.
  • Percaya bahwa mereka lebih baik dari anak lainnya, tanpa alasan yang jelas.
  • Kerap menyalahkan pihak lain atas kesalahannya.Kerap melebih-lebihkan momen keberhasilan yang ia miliki, meski dalam situasi yang tidak relevan.
  • Egois dan sulit mendengarkan orang lain.
  • Menunjukkan sikap negatif berlebihan (iri, marah hingga meledak, menangis kencang) terhadap keberhasilan orang lain.
  • Sangat kesulitan menerima kritik.
    Jadi anak memperlihatkan tanda-tanda di atas, bukan berarti akhir dari dunia. Orang tua bisa mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki situasi. Yakni dengan:
  • Bantu anak menyadari bahwa posisinya sama dengan saudaranya
    Membantu anak menyadari bahwa dalam keluarga, anak memiliki posisi dan peran yang sama dengan kakak/adiknya dan tidak memperoleh perlakuan yang spesial. “Atau jika ia anak tunggal, bantu anak memahami bahwa di dalam keluarga terdapat hak dan kewajiban yang ia miliki, sama seperti anak-anak di dalam keluarga lain,” jelasnya.
    Bersikap tegas, tapi tidak keras
    Anak dengan kepribadian narsis cenderung memiliki ego yang tinggi. “Jika disikapi dengan keras misalnya nada suara tinggi, menunjukkan ekspresi wajah marah/kesal, anak akan lebih berfokus untuk melindungi egonya dibanding mendengarkan apa yang sebenarnya orang tua sedang sampaikan,” tukasnya.
  • Bantu anak memahami bahwa setiap anggota keluarga memiliki kewajiban
    Bantu anak memahami bahwa setiap anggota keluarga memiliki peran dan kewajibannya masing-masing. Misal, orang tua bertugas untuk mencari nafkah dan menyediakan kebutuhan setiap anggota keluarga, sementara anak bertugas untuk belajar dengan baik, melakukan pekerjaan rumah yang berkaitan dengan diri sendiri (misal, membereskan tempat tidur sendiri, memasukkan bajunya sendiri ke dalam lemari setelah disetrika, dsb).
  • Bantu kembangkan kemampuan anak untuk mendengarkan orang lain
    Ayunda memaparkan bahwa orang-orang dengan karakter narsis seringkali hanya berfokus pada apa yang mereka sampaikan saja, dan cenderung tidak mempedulikan apa yang lawan bicaranya katakan. “Orang tua dapat membantu anak meningkatkan skill mendengarkan (listening skill), salah satu caranya dengan aktif menanyakan pada anak apa yang tadi orang tua sampaikan padanya,” sarannya.
  • Ajarkan konsep empati dan kebaikan
    Ketika anak mengalami kegagalan, hindari menenangkan anak dengan kata-kata yang tidak realistis misal, “kamu tetap paling hebat kok cuma sedang kurang beruntung”, atau “yang berikutnya pasti kamu menang”.
    “Lebih baik orang tua menunjukkan bahwa mereka mendampingi anak memproses kegagalannya tersebut. Bahwa orang tua masih tetap menyayanginya, dan mau membantu anak belajar dari kegagalannya tersebut,” tambahnya. Misalnya dengan mengatakan, “Kami tetap sayang padamu meski kamu gagal”, atau “Yuk, kita cari sama-sama di mana letak kesalahan yang membuatmu gagal”.

Bagaimana agar Anak Percaya Diri?

Foto: www.freepik.com


Ingin tahu bagaimana mengajarkan anak menjadi pribadi yang percaya diri, tapi tidak narsis? Begini saran Ayunda.
Berikan pujian pada anak sesuai apa yang ia sudah kerjakan.
Misal dengan mengatakan, “Hari ini kamu berhasil menyelesaikan puzzle abjad ya, good job!”, atau “Ibu lihat kamu sekarang sudah lebih baik dalam mewarnai karena warna-warnanya sudah lebih beragam”.
Berikan anak kesempatan merasa sedih dan kecewa.
“Saat anak mengalami kegagalan, berikan anak kesempatan untuk merasa sedih, frustrasi, dan kecewa. Kita sebagai orang tua cukup mendampingi saja. Setelah ia terlihat lebih baik, bantu anak mengidentifikasi dimana letak kesalahan/kegagalannya, serta apa yang bisa diperbaiki kedepannya. Dengan begitu, diharapkan anak menjadi lebih mampu menilai diri sendiri secara realistis,” sarannya.
Beri anak kesempatan mengatasi konflik dengan mandiri.
“Beri anak kesempatan untuk mengatasi sendiri konflik dengan teman sebayanya. Orang tua cukup membantu memberikan saran saat anak membutuhkan, serta menyediakan safe place bagi anak untuk bercerita dan menumpahkan perasaannya,”” terangnya.
Ajarkan berempati.
Ayunda menegaskan bahwa empati menjadi faktor penting yang membedakan antara anak yagn percaya diri dengan anak yang narsistik.
“Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk melatih empati anak. Salah satu caranya ialah dengan memberi anak kesempatan untuk berkoneksi dengan keluarga/lingkungan. Misal, pada saat acara silaturahmi keluarga, dorong anak untuk mengobrol dan berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya; jangan hanya bermain gadget di pojok ruangan, misalnya. Orang tua juga bisa mendorong anak untuk berpartisipasi di komunitas tertentu ataupun bersama-sama dengan orang tua melakukan kegiatan sosial,” tekannya.

Shares
×