Maraknya kasus krim pemutih berbahan steroid tidak bisa dilepaskan dari persepsi umum orang Indonesia, yang ingin kulitnya putih. Ada demand, ada supply. “Secara psikologis, ini kembali ke konsep diri. Apa yang membuat kita merasa cantik dan diterima,” ungkap Catharina Sri Indah Gunarti, M.Psi dari Pion Clinical.
Konsep diri ada yang positif, ada yang negatif. Biasanya, yang paling berpengaruh adalah penampilan fisik. Pada konsep diri negatif, seseorang akan merasa cantik misalnya bila kulitnya cerah, bersih tanpa jerawat, dan tubuh langsing. “Ini syarat yang dibuat untuk menutupi kekurangan diri,” terang Indah dalam diskusi bersama Ngobras di Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Selain itu, kita juga sering mengasosiasikan warna, dalam konsep hitam dan putih. Hitam kerap diasosiasikan dengan hal negatif. Sedangkan warna putih dianggap positif. “Ini membuat banyak orang berusaha untuk menjadi putih,” lanjutnya.
Keinginan untuk menjadi putih, kemudian dipermudah dengan hadirnya teknologi. Teknologi membuat hidup kita makin nyaman. “Dan sekarang, kenyamanan bukan sesuatu yang mewah, melainkan kebutuhan dasar,” ucap Indah.
Saat kita membuka gawai, iklan produk pemutih kulit berseliweran. Maka, begitu mudah untuk mewujudkan hasrat memutihkan kulit. Apalagi dengan embel-embel kulit menjadi putih dan mulus secara instan. “Tidak perlu repot dan mengantri ke dokter, serta membayar mahal. Tinggal klik, barang langsung datang,” sesal Indah. Alhasil, begitu banyak kasus krim pemutih berbahan steroid. Sekian banyak orang menjadi korban, karena tidak kritis terhadap produk yang ditawarkan.
“Konsep diri sangat dipengaruhi oleh budaya,” tegas Indah. Termasuk di dalamnya pola asuh orang tua, dan relasi sosial. Pola asuh body shaming misalnya mengatai anak hitam dan jelek, akan membentuk konsep diri negative pada anak. “Mereka yang sensitive terhadap penampilan fisiknya, mungkin waktu kecil tidak mendapat kenyamanan dari orang tua,” imbuhnya.
Memasuki masa remaja, anak mulai mencari identitas. Pada masa ini, peer group sangat besar pengaruhnya. Tak hanya dari teman, tapi juga pacar. Bila lingkungan juga menuntutnya untuk tampil cantik, konsep diri yang negative pun makin berkembang. Belum lagi pengaruh media visual dan media sosial. Yang jadi idola saat ini adalah artis Korea, atau artis Indonesia berwajah blasteran.
Akhirnya, mereka yang berkulit sawo matang dan dengan konsep diri rendah, akan berusaha memutihkan kulit. “Begitu melihat iklan produk pemutih kulit, tanpa pikir panjang langsung ingin mencoba. Apalagi bila produk itu di-endorse oleh artis,” ujar Indah. Memang yang banyak menggunakan produk seperti ini adalah remaja, atau dewasa muda.
Indah menegaskan, sangat penting bagi orang tua untuk membentuk konsep diri yang positif pada anak, sejak dini. Besarkan anak dalam lingkungan yang membuatnya merasa aman dan dihargai. “Saat remaja, konsep diri yang positif ini akan semakin matang. Begitu ia dewasa, bila ada celetukan atau ejekan soal fisiknya, tidak akan mempan baginya,” ujar Indah. Sedangkan pada mereka dengan konsep diri rendah, hal tersebut bisa menjatuhkan mental.
Untuk bisa menumbuhkan konsep diri positif pada anak, orang tua pun harus memiliki sikap yang sama. “Kalau orang tua merasa inscure, pasti anaknya pun insecure. Sayangi diri sendiri dulu. Sesederhana itu, tapi implementasinya sangat sulit,” papar Indah.
Ini harus dimulai jauh sebelum ia punya anak. Terlebih dulu harus siap memasuki dunia pernikahan. Lalu siap menjalani peran sebagai orang tua. “Kenali diri sendiri, apa kekurangan kita, dan bantuan apa yang kita butuhkan. Bila ini tidak dituntaskan, pasti akan berpengaruh ke anak. Yang ada, anak akan dianggap sebagai beban, dan segala kekesalan dilimpahkan ke anak,” tuturnya.
Ajari anak untuk tidak menilai orang lain dari fisiknya. Dengan demikian, ia akan menghargai orang lain seutuhnya, serta menghargai dirinya sendiri karena ia sadar, kualitas dirinya tidak dinilai berdasarkan warna kulit, atau seberapa mulus kulitnya. Kasus krim pemutih berbahan steroid seharusnya tidak perlu terjadi. (nid)