Berkaca dari masalah perundungan yang menimpa siswi SMP di Pontianak baru-baru ini, dampaknya bukan hanya dialami korban dan keluarganya, Bun. Pelaku yang masih di bawah umur juga terkena dampak negatif akibat perbuatannya.
Orang tua tentunya tidak menginginkan anak jadi korban atau pelaku perundungan. Menurut psikolog Patricia Yuannita, M.Psi, pelaku perundungan sudah pasti akan menjadi korban baru yang dicap buruk oleh masyarakat luas. Bila ini terjadi di media sosial dan viral, respons negatif adalah hal yang otomatis dialami.
“Ini namanya negative autonegative thought. Cara kerja otak kita memang begitu, jangankan ke orang lain ke diri sendiri aja kita bisa berpikir buruk,” kata wanita yang akrab disapa Yoan ini, dalam Diskusi Bersama Ngobras, di Nutrifood Inspiring Center, Matraman, Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Yoan menambahkan pentingnya orang tua menganggap anak bukan sebagai pelaku bullying, melainkan sebagai anak. Kaitannya adalah tentang hubungan keluarga dan parenting. Bagaimanapun, dukungan juga dibutuhkan oleh anak pelaku perundungan. Tentunya dukungan ini berupa hal positif yang membantu anak berubah jadi lebih baik.
“Orang tua harus memberikan suasana yang kondusif agar anak bisa bertanggung jawab. Agar anak bisa berbicara jujur tentang apa yang dilakukannya,” ujar Daisy Indira Yasmine, M.Si, dosen sosiologi Universitas Indonesia, dalam kesempatan sama.
Menurutnya orang tua harus membantu dan mendampingi anak agar bisa diterima di masyarakat. Penting juga untuk menanamkan rasa kepedulian pada anak.
“Kita harus memikirkan bagaimana anak ini bisa kembali lagi ke masyarakat. Kalau kita lihat, ada beberapa anak yang hilang kepeduliannya, inilah yang harus orang tua tanamkan,” tutur Daisy.
“Orang tua harus ikut menegakkan nilai yang benar, mengevaluasi nilai-nilai yang sudah diajarkan. Jangan coba membenarkan anak dengan coba melindungi. Karena orang tua ini adalah penengah,” sambung Daisy.