Belakangan, tayangan edukasi bagi usia pra sekolah menjadi hal yang populer, terlebih semasa pandemi Covid-19.
Mulai dari Little Einstein, Baby Einstein, dan Hi-5 yang dikemas menarik dan cocok bagi anak -anak usia pra sekolah (1-3 tahun). Tak heran jika anak-anak menyukai tayangan tersebut dan betah berlama-lama.
Jangan lupa untuk menerapkan screen time balita, sebab anak-anak di usia tersebut harus lebih sering menerima stimulasi untuk perkembangan motorik kasar dan halusnya.
“Saat ini anak usia pra sekolah (1-3 tahun) tumbuh dan berkembang dengan kemajuan teknologi. Karenanya hampir tidak mungkin orangtua melarang anak untuk tidak menonton tayangan tersebut,” kata Katarina Ira Puspita, M.Psi., Psikolog, Psikolog Anak dan Keluarga Pela 9 Education Center Kemang.
Meski begitu, orang tua harus cerdas mengelola dan mengawasi penggunaan gadget pada anak.
Baca juga:
Batasi Gadget pada Si Kecil, Hindari Depresi!
“Tetap izinkan mereka, namun selalu dampingi dan berikan batasan screen time yang jelas,” ujar Katarina.
Lebih lanjut, psikolog yang juga bekerja sebagai dosen Psikologi di Universitas Bina Nusantara ini menjelaskan aturan apa saja yang dapat diterapkan orangtua sehingga waktu screen time balita menjadi efektif dan tidak menimbulkan dampak negatif.
Durasi waktu yang ideal bagi anak usia pra sekolah untuk menonton minimal 1 jam dan maksimal 2 jam. Sebab mereka tetap membutuhkan waktu bermain dan istirahat yang seimbang.
Pilih jenis tayangan yang sesuai usia. Konten cerita dan konten aktivitas harus seimbang. Konten berhasa Inggris atau Indonesia bisa jadi pilihan, namun pastikan orang tua sudah mengetahui isi tayangan terlebih dahulu.
Pada anak usia 12-18 bulan, mereka bisa menonton tayangan edukatif dengan didampingi orangtua.
Sedangkan untuk usia 2-5 tahun bisa menonton tayangan lainnya namun dengan durasi 1 jam di hari kerja dan maksimal 2 jam saat akhir pekan. Tentunya tetap didampingi orangtua.
Saat menonton bersama, orangtua dapat mengajak anak berbicara atau berdiskusi mengenai tayangan yang sedang ditonton.
Dengan begitu, akan ada manfaat yang bisa didapatkan anak salah satunya melatih kemampuan kognitif dan berbahasa.
Siapkan perlengkapan yang mendukung jika tayangan memuat konten praktik.
Misalnya saat anak melihat tayangan membuat sesuatu dengan clay. Nah saat itulah orangtua bisa mendorong anak untuk mengikuti agar anak bisa lebih mengeksplor kemampuannya.
“Dengan demikian kemampuan motorik anak tetap terstimulasi. Anak pun akan lebih semangat karena dapat melakukan aktivitas yang sama seperti apa yang pernah ditontonnya,” ujar Katarina.
Kartina mengungkapkan, kesalahan yang sering terjadi adalah ketika orangtua membiarkan buah hatinya menonton tayangan edukasi sendiri.
Banyak orangtua yang beranggapan bahwa membiarkan anak nonton sendirian berarti “kesempatan” bagi orang tua untuk untuk istirahat atau mengerjakan pekerjaan lainnya.
“Hal seperti ini yang sangat disayangkan, karena saat anak sedang menonton tayangan edukasi tersebut lah kesempatan bagi orangtua untuk berdiskusi dan mengedukasi mereka dengan menjelaskan moral value darai tayangan tersebut,” jelas Katarina.
Selain itu, jika anak terus dibiarkan menonton sendiri tanpa pendampingan dari orangtua, maka kegiatannya hanya berlangsung satu arah. Dampaknya, kemampuan bersosialisasi anak menjadi kurang baik.
Dengan membiarkan anak menonton sendiri, orangtua juga kehilangan kesempatan untuk mengawasi apa yang ditonton mereka.
Contohnya, saat anak menonton tayangan edukasi di YouTube, orangtua menjadi tidak tahu iklan apa saja yang muncul selama tayangan tersebut berlangsung.
“Bahayanya kalau anak sampai melihat iklan yang mengandung unsur pornografi atau kekerasan yang tidak semestinya dilihat oleh mereka,” lanjut Katarina.
Jadi alokasikan waktu khusus untuk screentime balita.
Tetapkan area-area di rumah yang harus bebas gadget.
Hindari mengajak anak menonton di kamar atau tempat tidur karena dapat menganggu pola tidur.
Menonton di area tersebut juga sering membuat anak lupa waktu karena menonton mendekati jam tidurnya.
Hindari juga menonton tayangan edukasi anak bersamaan dengan acara makannya. Dikhawatirkan konsentrasi anak akan terpecah sehingga mereka tidak memperhatikan apa dan berapa banyak makanan yang dimakan. Hal ini tentu berdampak buruk pada pencernaannya.
Biasakan menanyakan kembali kepada si kecil tentang apa yang sudah ditonton. Orang tua bisa memasukkan hal ini dalam obrolan sebelum tidur.
Hal ini bisa membantu kebiasaan untuk si kecil selalu ‘aware’ atas apa yang sudah ditonton.
Hal yang tak kalah penting ialah batasi akses dengan menerapkan fitur khusus anak.
Pastikan juga ponsel Anda terkunci dengan aman sehingga tidak sembarangan dibuka si kecil. Jika ada, gunakan fitur kunci menggunakan sidik jari atau retina mata.
“Bagaimanapun juga, orangtua perlu aktif dan kreatif mengajak anak bermain. Sebab menonton bukan satu-satunya pilihan bagi anak, terlebih di usia pra sekolah untuk belajar,” ujar Katarina.
Ia menyarankan sejumlah kegiatan yang menarik di luar screen time balita, yang mampu menstimulasi kemampuan motorik. Misalnya bersepeda, menggambar, mewarnai, bermain lego, puzzle.
Sah-sah saja apabila orangtua ingin memberikan tontonan berupa tayangan edukasi.
Namun ingat pilihlah tayangan edukasi bukan hanya yang menarik dan menghibur, melainkan juga yang memiliki moral value tinggi. (Sic)