Belakangan ini, banyak pasien yang datang kepada saya dengan keluhan psikologis yang memang sedang ngetrend pada populasi dewasa dan muda : gangguan suasana hati (mood), masalah stres, bahkan percobaan bunuh diri. Berbagai isu tersebut bisa datang dari skenario yang sama : putus cinta. Pertanyaan yang sering ditanyakan oleh orang awam adalah, Mengapa seseorang yang baru putus cinta ingin mengakhiri hidupnya, sementara orang lain dengan masalah yang sama terlihat baik-baik saja?
Tentu saja penjelasannya tidak sesederhana pertanyaannya. Dinamika psikologis seseorang begitu kompleks dan rumit. Tidak akan puas jika hanya dijawab dengan dua paragraf singkat.
Menurut Guy Winch, seorang psikolog dari Amerika Serikat sekaligus penulis buku How to Fix a Broken Heart, putus cinta menyebabkan nyeri emosional yang terasa serupa dengan nyeri fisik. Penelitian fMRI terhadap orang-orang yang patah hati memperlihatkan bukti serupa. Dalam beberapa penelitian lain, rasa sakit emosional yang dialami orang yang patah hati dinilai setara dengan rasa sakit fisik yang hampir tak tertahankan. Meskipun rasa sakit fisik tersebut tidak bertahan dalam waktu yang lama, rasa sakit psikologis akibat patah hati dapat bertahan selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Lebih lanjut, Winch mengatakan bahwa putus cinta serupa dengan pecandu heroin yang akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan heroin pada saat sedang butuh (craving) atau sakaw. Ia bisa berubah wujud menjadi seorang pencuri bahkan pembunuh. Ketika kita sedang melepaskan diri dari suatu hubungan, kita mungkin akan melakukan hal-hal yang biasanya tidak kita lakukan, misalnya, menghujani mantan pacar dengan pesan Whatsapp, atau terus menerus kepo dengan akun media sosialnya setiap jam. Bahkan dalam kasus ekstrim ada yang sampai melukai mantan pacarnya. Pada saat melakukan hal-hal tersebut, sebenarnya kita seperti sedang merasakan efek samping dari sakaw pasca putus cinta. Perilaku-perilaku tersebut hanya akan memperkuat craving dan menunda pemulihan kita.
Berdasarkan kenyataan yang saya temui di ruang praktek, kata mutiara yang mengatakan bahwa “waktu akan memulihkan diri kita” tidak selamanya relevan. Realitanya, hal yang paling utama adalah apa yang telah kita lakukan dalam periode waktu tersebut, serta bagaimana kita memberi makna terhadap permasalahan kita menggunakan segala informasi serta pengalaman yang sudah kita alami di masa kecil. Patah hati pada dasarnya adalah sebuah pengalaman, sama seperti pengalaman jatuh dari sepeda, pengalaman dimarahi guru, juga pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan lainnya. Masa kecil tidak hanya mempengaruhi perspektif kita, tetapi juga penafsiran dan penghayatan dari sebuah pengalaman negatif yang kita alami di masa selanjutnya. ~ Sarahsita HendriantiCLICK TO TWEET
Pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan bisa kita ibaratkan sebagai pintu yang mengarahkan kita kepada luka masa lalu, walaupun kita sudah sangat yakin bahwa kita sudah bekerja sangat keras untuk melupakan, mengubur memori tersebut. Sayangnya, memori tersebut tidak bisa terhapus begitu saja, kecuali apabila kita mengalami amnesia atau penurunan fungsi otak. Bagi seseorang yang memiliki riwayat trauma relasional, seperti ditinggalkan oleh orang tua atau pengasuh, dampak emosional dan psikologis dari putus cinta dapat memicu gejala pasca-trauma. Ini dapat menjelaskan mengapa akhir dari hubungan percintaan yang terpendek sekalipun dapat terasa seperti akan kiamat, atau adanya perasaan bahwa kita tidak dapat hidup tanpa si mantan. Entah karena orang tua yang meninggalkan kita pada usia 7 tahun atau karena adalah putus cinta kita pada usia 25 tahun, semua terasa mirip. Mengapa mirip? Karena kedua pengalaman tersebut memberikan pesan emosional : “Kita ditinggal oleh orang yang kita cintai” dan“orang yang kita cintai sudah pergi.”
Psikiater spesialis trauma Bessel A. van der Kolk, yang juga penulis buku The Body Keeps the Score, mengatakan bahwa jejak trauma masa kecil tidak hanya terdiri dari penyimpangan persepsi mengenai informasi yang datang dari luar. Masa kecil tidak hanya mempengaruhi perspektif kita, tetapi juga penafsiran dan penghayatan dari sebuah pengalaman negatif yang kita alami di masa selanjutnya.
Masalah mental muncul ketika pengalaman traumatis pada masa kecil tidak diproses dengan efektif. Diproses dengan efektif di sini artinya kita benar-benar menjalani fase pemulihan, baik pemulihan oleh diri sendiri didukung oleh orang terdekat, maupun pemulihan professional dibantu oleh praktisi. Ketika kita hanya mengabaikan atau menekan memori tersebut, tidak ada jaminan bahwa memori traumatis itu sudah benar-benar terproses. Sikap, emosi, dan sensasi yang dirasakan tidak selalu muncul sebagai reaksi, tetapi bisa juga sebagai manifestasi. ~ Sarahsita HendriantiCLICK TO TWEET
Seorang terapis ahli trauma bernama Francine Shaphiro menyatakan bahwa memori mengenai pengalaman negatif dapat ‘membeku’ di otak seseorang dalam waktu yang lama. Sehingga, persepsi, penafsiran, dan penghayatan terhadap pengalaman saat ini secara otomatis dikaitkan dengan jaringan memori yang relevan. Sayangnya, ketika memori tersebut ‘membeku’, maka memori ini tidak berhasil terjaring di folder memori yang dapat menyesuaikan (adaptif) sehingga akhirnya menjadi maladaptif. Itulah yang menjadi landasan respons maladaptif seseorang, termasuk juga bagaimana ia mengolah emosi negatif dan memproses pengalaman negatif yang dialaminya.
Sudut pandang yang seperti ini memandang gangguan mental dan kepribadian sebagai manifestasi dari segala memori traumatis yang dimiliki sejak masa kecil. Dari perspektif ini, adanya kepercayaan negatif (misalnya: “saya bodoh”, “saya jelek”) tidak dilihat sebagai penyebab gangguan saat ini, melainkan sebagai manifestasi dari memori traumatis di masa kecil yang belum selesai diolah. Sikap, emosi, dan sensasi yang dirasakan tidak selalu muncul sebagai reaksi, tetapi bisa juga sebagai manifestasi.