Pada awalnya, mungkin banyak orang yang merasa senang dengan keharusan tinggal dan melakukan berbagai aktivitas di rumah. Sebab kondisi ini membuat mereka memiliki lebih banyak waktu bersama keluarga. Namun seiring berjalannya waktu, masalah perlahan mulai muncul.
Salah satu masalah yang mulai mengalami peningkatan selama di rumah adalah kekerasan. Menurut psikolog klinis dewasa Catharina Sri Indah Gunarti, M.Psi, angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) saat ini sudah mulai naik.
Bahkan tak sedikit yang mengarah ke perceraian. Kondisi ini hampir sama seperti di Tiongkok saat diberlakukan lockdown.
“Di Tiongkok, begitu lockdown di buka, dalam 2-3 minggu pertama ada sekira 300 pasangan yang mendaftarkan proses penceraiannya. Hal ini dikarenakan mereka harus diam di rumah,” kata Indah kepada Indozone saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Lebih lanjut dirinya mengungkapkan dua alasan yang memicu terjadinya kekerasan selama masa-masa di rumah saja. Pertama karena perasaan bosan harus di rumah saja hingga nembuat stres. Kedua, ketidakmampuan mengelola emosi.
Pada orang-orang yang memiliki predisposisi kekerasan, tingkat energi dan agresi di dirinya cukup tinggi. Sayangnya, selama berada di rumah, mereka tidak bisa menyalurkan emosi atau energinya dengan baik. Akibatnya, yang menjadi tempat pelampiasan adalah orang di luar rumah.
“Pada orang yang tingkat energinya tinggi mengarah ke agresi, mungkin sebelum stay at home ini bisa menyalurkan emosinya ke olahraga yang cukup berat atau hal-hal lain di luar rumah. Tapi sekarang enggak ada pilihan untuk menyalurkan, ditambah bosan sehingga tidak bisa mengatur, mengelola tingkat energi dan emosinya,” ujar Indah.
Di sisi lain, kekerasan fisik biasanya ada pemicu. Contoh, ketika anggota keluarga lain sama-sama merasa bosan, stres, dan emosinya negatif, bisa jadi melakukan kekerasan secara verbal yang tidak disadari. Akibatnya direspons dengan kekerasan fisik.
“Negatif ketemu negatif jadinya memicu kekerasan, apalagi kalau terus menerus bertemu di rumah tapi tidak bisa mengatur regulasi di rumah. Maka dari itu, me-time sangat dibutuhkan,” ujar Indah.
Menurutnya, me-time bukan hanya sekadar memberi kesempatan untuk menyenangkan diri sendiri. Waktu ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengelola emosi sehingga suasana di rumah bisa tetap kondusif.
“Bukan berarti ketika menjadi keluarga harus sama-sama terus, itu malah enggak disarankan. Me-time enggak perlu susah-susah, cukup beda satu ruangan untuk beberapa jam. Atau kalau ruangannya hanya ada satu, bisa tetap bersama, tapi punggung-punggungan untuk melakukan aktivitas sendiri,” tandas Indah.