Hasil penelitian Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Jakarta menemukan adanya fakta bahwa mahasiswa memiliki kecenderungan emosi negatif yang tinggi. Kecenderungan tersebut membuat mahasiswa rentan terhadap kecemasan, depresi, dan rasa stres yang dapat mengganggu kesehatan mental. Apalagi masa pandemi Covid-19 ikut mempengaruhi memburuknya kerentanan itu.
“Hal ini mencerminkan mahasiswa rentan terhadap kecemasan, depresi, dan rasa stres yang dapat mengganggu kesehatan mentalnya,” kata Dosen Fakultas Psikologi UI Dr Dyah T Indirasari, MA Psikolog dalam webinar seperti dilansir dari laman resmi UI, Sabtu 17 Juli 2021, seperti dikutip detik.com.
Dyah menjelaskan, penelitian tersebut diikuti 5.817 partisipan yang terdiri atas 2.910 guru, 256 dosen, dan 412 mahasiswa. Ia memaparkan, hasil penelitian menunjukkan bahwa guru dan dosen puas terhadap kehidupannya saat ini.
Sementara itu, lanjutnya, mahasiswa berada di dalam kategori agak puas. Kategori ini mengindikasikan perlunya intervensi dari pihak eksternal untuk meningkatkan kepuasan hidup mahasiswa. Di samping itu, secara umum, penelitian mendapati guru, dosen, dan mahasiswa memiliki emosi positif yang tinggi.
Sekretaris Prodi Pascasarjana Fakultas Psikologi UI Dr Imelda Ika Dian Oriza MPSi mengatakan, penelitian mendapati kondisi mahasiswa juga memiliki energi negatif yang cukup tinggi. Menurutnya, kondisi emosi negatif tersebut akan mempengaruhi well-being mahasiswa dan kesehatan mentalnya.
Ditambahkan Dian, tingginya emosi negatif mahasiswa disebabkan masa transisi yang tengah dialami mahasiswa dari masa remaja ke masa dewasa.
Pada masa ini, mahasiswa dituntut harus mampu beradaptasi dengan kebebasan yang baru dimilikinya di masa kuliah dan perubahan kondisi sosial yang mereka temui.
Ia menambahkan, kondisi pandemi Covid-19 turut mengaruhi memburuknya kerentanan mahasiswa pada kecemasan dan depresi.
“Ditambah dengan kondisi pembelajaran yang sangat berbeda saat ini. Akibatnya adalah mahasiswa mengalami rasa kecemasan yang tinggi dan rentan menderita depresi,” katanya.
Ia mengatakan, untuk mengatasi rasa kecemasan tersebut, seorang mahasiswa perlu dukungan dan bimbingan dosen, universitas, maupun orang tua mahasiswa. Dukungan tersebut mencakup penyediaan layanan konseling, pemahaman dalam kegiatan belajar, dan menyediakan tempat bercerita.
Kendati sudah mulai beranjak dewasa, mahasiswa tetap memerlukan bimbingan untuk menemukan jati diri yang nantinya akan meningkatkan resiliensi dan well-being. Dian menambahkan, well-being merupakan kunci dari terbentuknya mental yang sehat.
“Dukungan universitas melalui penyediaan layanan konseling, pemahaman dari dosen dalam kegiatan belajar mengajar dengan tidak memberikan tekanan pada mahasiswa, dan peran orang tua di rumah sebagai subjek tempat mahasiswa bercerita merupakan kunci untuk mengatasi potensi rasa kecemasan,” pungkas Dian.