Well-Being, Kunci Kesehatan mental di Masa Pandemi

well-being-kunci-kesehatan-mental-di-masa-pandemi
                

 “Perlu ada upaya dukungan untuk guru dan mahasiswa agar mereka bisa meningkatkan well-being dan menjadi lebih tangguh, antara lain meningkatkan emosi positif dalam proses pembelajaran dengan memberikan rasa keberhasilan pada mahasiswa, sehingga self-esteem meningkat. Bisa pula dengan meningkatkan frekuensi dan kualitas interaksi sosial,” ujar Dr. Dyah T. Indirasari, M.A., Psikolog, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) yang juga anggota Laboratorium Cognition, Affect, and Well-being dalam webinar “Well-being Guru, Dosen, dan Mahasiswa di Masa Pandemi”.

Dalam webinar yang dilaksanakan secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting pada Sabtu lalu (17/7), mewakili tim periset, Ira mengungkapkan bahwa walaupun guru-guru puas terhadap hidup mereka dan memiliki emosi positif yang baik, namun resiliensi mereka rendah. “Artinya, jika berada dalam situasi emosional, maka mereka lebih sulit untuk bangkit, lebih tidak tahan terhadap stres, dan cenderung pesimistik,” ujar Ira.

Temuan lain dari penelitian ini adalah para dosen puas terhadap hidup mereka dan memiliki resiliensi yang baik. Mereka lebih mudah bertahan setelah mengalami peristiwa yang emosional, lebih tahan terhadap stres dan cenderung optimis. Pada sisi yang lain, mahasiswa justru cenderung agak puas terhadap hidup mereka, memiliki resiliensi yang rendah, dan ada yang mengalami gejala depresi. “Kondisi mahasiswa ini perlu mendapat perhatian,” ujar Ira.

Dengan menggunakan metode diskusi panel, webinar ini menghadirkan Sekretaris Program Studi Psikologi Profesi Program Magister Fakultas Psikologi UI, Dr. Imelda Ika Dian Oriza, M.Psi., Psikolog dan Dra. Diena Haryana, M.A., pendiri Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) sebagai penanggap pemaparan dari tim riset. Dalam kesempatan tersebut, Dian menyatakan bahwa well-being merupakan kunci dari terbentuknya mental yang sehat.

Well-being dapat memengaruhi kesehatan mental, karena emosi positif yang dihasilkan seseorang akan membuat kondisi mentalnya lebih baik dan optimis. Dian melanjutkan paparannya dengan menggarisbawahi temuan yang menarik dari penelitian tersebut tentang kondisi mahasiswa yang memiliki emosi negatif yang cukup tinggi. Kondisi emosi negatif tersebut menurut Dian akan memengaruhi well-being mahasiswa yang akan menentukan kesehatan mentalnya.

“Menurut hemat saya, tingginya emosi negatif mahasiswa dikarenakan masa transisi yang tengah dialami mahasiswa dari masa remaja ke masa dewasa. Mahasiswa dituntut harus mampu beradaptasi dengan kebebasan yang baru dimilikinya di masa kuliah dan perubahan kondisi sosial yang mereka temui, ditambah dengan kondisi pembelajaran yang sangat berbeda saat ini. Akibatnya adalah mahasiswa mengalami rasa kecemasan yang tinggi dan rentan menderita depresi,” kata Dian.

Untuk mengatasi rasa kecemasan tersebut, Dian menyatakan diperlukan dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak mulai dari dosen, universitas, maupun orang tua. Sebab, mahasiswa meskipun sudah mulai beranjak dewasa tetap memerlukan bimbingan untuk menemukan jati dirinya yang nantinya akan meningkatkan resiliensi dan well-being mereka. “Dukungan dari universitas melalui penyediaan layanan konseling, pemahaman dari dosen dalam kegiatan belajar mengajar dengan tidak memberikan tekanan pada mahasiswa, dan peran orang tua di rumah sebagai subyek tempat mahasiswa bercerita merupakan kunci untuk mengatasi potensi rasa kecemasan mahasiswa,” kata Dian.

Webinar tersebut dilaksanakan dalam rangka menyampaikan hasil riset berjudul Resiliensi Orang Indonesia, yang merupakan hasil kerja tim riset yang khusus dibentuk dalam Dies Natalis Fakultas Psikologi ke-61 UI. Riset dilakukan secara daring dengan jumlah responden sebanyak 5.817, berusia antara 18 hingga lebih dari 82 tahun. Kelompok responden yang berasal dari berbagai provinsi di Indonesia ini, diantaranya terdiri dari 2.910 guru, 256 dosen, dan 412 mahasiswa.

Shares
×