Akomodasi Belajar dan Modifikasi Kurikulum, Kunci Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

akomodasi-belajar-dan-modifikasi-kurikulum-kunci-pendidikan-anak-berkebutuhan-khusus
                

Sekolah tidak dapat memaksa anak berkebutuhan khusus menguasai berbagai macam hal. Melainkan fokus pada hal-hal yang diterapkan di keseharian.

”Kami memfokuskan hal-hal yang akan digunakan di keseharian, misal, matematika dasar, cara membaca tanda di jalan, cara baca resep obat. Hal terpenting itu dapat digunakan di kehidupan sehari-hari,” kata Rahma Paramita, M.Psi, Psikolog.

Ia menyampaikan itu saat webinar Cikal Bincang-Bincang, Pentingnya Terapi untuk Mengoptimalkan Anak Berkebutuhan Khusus Belajar di Sekolah. Psikolog Anak dan Remaja Sekolah Cikal, Rahma Paramita, M.Psi, menekankan penerapan akomodasi belajar dan modifikasi kurikulum sebagai kunci pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus.

Ia menjelaskan, kunci pendidikan bermakna bagi anak berkebutuhan khusus yang diterapkan di Pendidikan Inklusi Cikal, mencakup akomodasi belajar dan modifikasi kurikulum. Dalam akomodasi belajar, ia menyebutkan 6 aspek yang mencakup di dalamnya. Baik cara pemberian instruksi, bentuk tugas, atau bentuk materi belajar, setting belajar, waktu belajar, jadwal belajar, manajemen waktu dan tugas, serta bagaimana cara anak merespon dengan beberapa gambaran contoh.

“Kalau di dalam materi belajar, satu anak misalnya dapat memperoleh materi dengan hanya mendengar saja, satu anak lagi belajar dengan video. Kalo dari bentuk tugas, anak reguler bisa diberikan 10 pertanyaan, kalau anak ABK itu 2 pertanyaan dahulu,” jelasnya.

Kemudian kalau menyampaikan tugasnya dengan menulis anak berkebutuhan khusus tidak nyaman, boleh dengan cerita atau proyek presentasi. Bahkan dalam beberapa anak yang selective mutism, mereka direkam oleh orang tua responnya dan itu yang ditunjukkan pada guru.

“Semua kita perkenankan, tujuannya terletak pada pemahaman anak terhadap materi,” jelas Mita.

Ia juga menjelaskan aspek akomodasi lainnya seperti setting belajar dengan kelompok kecil bahkan sampai individu. Akomodasi setting belajar, pengertiannya adalah tidak semua anak harus berada dalam kelas klasikal.

“Apabila anak belum bisa belajar kelompok besar, maka kita siapkan kelompok kecil (4-6 orang), kalau tidak nyaman kelompok kecil maka kelas individu,” tambah Mita yang merupakan Tim Program Pendidikan Inklusi Cikal.

Selain adanya akomodasi belajar bagi anak berkebutuhan khusus, Psikolog Anak dan remaja ini juga menjelaskan bahwa dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi seperti Sekolah Cikal, tim program akan melakukan modifikasi kurikulum. Sekolah Inklusi seperti Cikal menyediakan modifikasi kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus. Anak-anak bisa mengikuti jenjang dan program akademik yang sesuai kebutuhan, dan kemampuannya untuk membantu kemandirian anak.

“Misalnya, anak A berada di kelas enam, tetapi pemahaman matematikanya di tingkat kelas 4. Itu semua dimungkinkan di Pendidikan Inklusi Cikal,” ungkapnya.

Untuk diketahui, membangun semangat pendidikan inklusi di Indonesia bermula dari kesiapan dan pemahaman tepat orang tua tentang model pendidikan yang tepat bagi anak berkebutuhan khusus. Menurut dia, terdapat 7 aspek yang penting untuk diperhatikan orang tua dalam mempersiapkan anak berkebutuhan khusus untuk sekolah.

“Antara lain, perkembangan fisiknya mencakup motorik kasar dan halus, perkembangan bahasa (ekspresif dan reseptif), kognisi (pendekatan pada pembelajaran), pra-membaca dan menulis, perhitungan dasar, sosial, dan emosi,” bebernya.

Jika dilihat dari perkembangan fisik, Mita menegaskan bahwa perkembangan fisik menjadi hal paling mendasar yang harus diperhatikan oleh orang tua. Misalnya bagi anak usia prasekolah di tingkat Rumah Main Cikal usia 10 bulan sampai 2 tahun, paling tidak orang tua dapat memperhatikan. Apakah anak sudah bisa duduk terlebih dahulu agar dapat mengikuti kelas.

“Atau di usia ketika mau kelas kakak-kakak di usia 2 tahun, apakah anak sudah bisa berjalan untuk mengajarkan kemandirian. Perkembangan fisik menjadi hal paling mendasar yang harus diperhatikan,” urainya.

Selain fisik, ia pun juga menjelaskan perihal kesiapan sosial anak, mencakup kesadaran dirinya akan sekitarnya. Dari aspek sosial orang tua bisa melihat dari sisi kesadaran anak akan orang lain. Apakah anak sudah sadar terhadap lingkungan sekitar, apakah sudah memulai pertemanan, atau menunggu giliran.

“Aspek ini terkait kesadaran akan diri dan sekitarnya,” tandasnya. (*)

Shares
×