Pandemi virus corona (Covid-19) yang berlangsung sejak awal Maret tahun 2020, telah membuat banyak perubahan dalam semua aspek kehidupan masyarakat di Indonesia.
Sayangnya, tidak semua individu siap dan dapat beradaptasi dengan situasi ini. Hal itu, tentu saja mempengaruhi mental ataupun kejiwaan seseorang. Untuk itu, menjaga kesehatan jiwa juga sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik di masa pandemi ini.
Bahkan organisasi kesehatan dunia (WHO) menyebut konsep sehat bukan hanya terbebas dari penyakit secara fisik, tapi juga meliputi kondisi sehat mental dan sosial.
Psikolog yang juga tim relawan satgas Covid–19 Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) di DKI Jakarta, Sarahsita Hendrianti mengakui, pandemi Covid-19 memunculkan sejumlah persoalan kesehatan mental masyarakat. Pasalnya masyarakat yang terbiasa berinteraksi sosial terpaksa melakukan berbagai hal secara daring, baik belajar, bekerja hingga beribadah.
Situasi tersebut, menurutnya, bukan hal mudah, terlebih di tengah suasana yang penuh dengan ketidakpastian sehingga dapat memunculkan rasa cemas, khawatir, ketakutan, stres, hingga depresi.
“Pandemi covid-19 ini memberikan perubahan sosial serta tekanan psikilogi sehingga terjadilah stress. Banyak faktor yang menyebabkan stress selain karena adanya ketidak pastian kapan ini semua akan berakhir, kemudian juga perasaan cemas dan takut apakah akan tertular virus atau tidak, timbul perasaan was-was dan juga mengkhawatirkan keluarga kita misalnya orang tua yang lebih rentan atau mungkin keluarga lain memiliki riwayat penyakit jadi ada rasa takut. Selain itu juga kita setiap harinya melihat dan membaca berita yang banyak banget tentang Covid, lama- lama otak kita kan menyerap itu dan akhirnya menimbulkan reaksi. Nah reaksi itu bisa berupa takut dan cemas ,” kata Sarah ketika dihubungi RRI.co.id, Kamis (15/10/2020).
Bahkan ia mengaku, adanya persoalan terhadap individu yang sebelumnya tidak mengalami permasalahan kesehatan mental. Namun di masa pandemi ini, justru menimbulkan keluhan akibat stress yang berkepanjangan.
“Ada saja sih, karena seperti kecemasan, kekhawatiran, ketakutan kan muncul semua ya. Kalau tadi biasanya rutinitas lancar dan tidak ada masalah, namun kemudian kecemasan itu seolah terpantik karena adanya kondisi ini, akhirnya jadi lebih rentan sehingga semula mereka yang merasakan tidak ada keluhan, lalu tiba – tiba ada keluhan,” ungkap Sarah.
Meski demikian, menurut Sarah, orang dengan permasalahan kesehatan mental baru ini, justru akan lebih tangguh lantaran mereka pernah berada di fase terendah.
“Misalnya yang tadinya easy going banget orangnya, terus jadi parnoan karena takut ketularan kemudian mereka akan mencari tahu sebenarnya ada apa dengan diri saya, itu akan menimbulkan kepekaan kepada si individunya sendiri, sehingga pemahaman tentang diri sendiri jika disikapi dan di follow up dengan tepat mereka akan jadi individu yang baru dan lebih baik,” ujar Sarah.
Selain tetap mengatur pola hidup yang bersih dan sehat, lanjut Sarah, merilekskan diri sendiri serta tetap menjalin silahturahmi dengan keluarga dan sahabat meski secara daring dapat menjadi upaya untuk dapat tetap menjaga kesehatan mental di masa pandemi covid-19 ini.
“ Yang pasti kita harus fokus pada hal yang bisa kita kontrol, seperti makan- makanan bergizi, kemudian berolahraga, istirahat yang cukup, dan yang terpenting kita juga jangan lupa untuk tetap menjalin komunikasi dengan keluarga, karena dengan adanya dukungan sosial, perasaan senasib karena adanya PSBB akan memberikan pengaruh besar. Serta jangan lupa untuk rileks misalnya kaya latihan relaksasi, latihan pernafasan atau menyalurkan hobi saat dirumah saja itu baik untuk kesehatan mental kita,” kata Sarah.
Sementara itu, Reinardo, Orang Dengan Bipolar (ODB) mengaku pandemi covid-19 ini memberikan pengaruh bagi ODB baik dari segi kesehatan maupun finansial. Terlebih konsultasi yang dilakukan secara daring, membuat ODB tidak bisa mengakses layanan secara sempurna. Padahal menurutnya, ODB sendiri membutuhkan konsultasi secara langsung.
“Iya karena kita tidak bisa tatap muka dengan psikiater kita, mereka biasanya buka layanan di apikasi hallo doc atau janji online. Nah ini yang berat karena kita sebenarnya mau incharge karena ODB itu tidak hanya harus ke psikiater tapi juga ke psikolog kalau mau mendapatkan layanan yang sempurna. Yang pasti akan berbeda penanangannya ketika anda hanya di depan layar dengan bertemu secara tatap muka. Selain itu juga biaya sama tapi nilainya berbeda,” kata pria yang akrab disapa Edho kepada RRI.co.id, Kamis (15/10/2020).
Ia pun berpesan kepada seluruh masyarakat untuk tidak mengucilkan serta menganggap bahwa ODB adalah orang yang memiliki gangguan mental. Terlebih di masa pandemi ini, dukungan serta pendampingan dari keluarga hingga masyarakat dibutuhkan sehingga tidak menimbulkan depresi yang berkepanjangan bagi para ODB tersebut.
“ Jangan pernah kucilkan ODB atau menganggap mereka itu mengalami gangguan kesehatan mental. Anggap mereka seperti manusia biasa pada umumnya, kami juga tidak mau memiliki penyakit seperti ini. Kemudian juga kepada keluarga baik itu suami, istri, adik, kakak bahkan orang tua dari ODB tolong juga dampingi serta membuat suasana menjadi nyaman karena akses mendapatkan obat semakin sulit dan harganya semakin mahal terlebih di masa pandemi ini,” ujar Edho.
Tak hanya peran serta dari keluarga dan masyarakat untuk melakukan pendampingan terhadap orang dengan permasalahan mental di masa pandemi ini yang dibutuhkan. Para mahasiswa pun dengan sukarela memberikan pendampingan serta penyuluhan guna membantu masyarakat yang memiliki permasalahan kesehatan mental.
Fadillah Badruzzaman, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Pendidikan Jasmani (PGSD Penjas) mengatakan keikutsertaannya memberikan pendampingan kesehatan mental di masyarakat lantaran dalam penanganan covid-19 pertahanan yang terbaik adalah mental. Selain itu maraknya pemberitaan tentang virus yang berasal dari Wuhan, China itu, juga membuat kesehatan mental menjadi tergerus sehingga menurunkan daya tahan tubuh setiap individu.
“Kebanyakan disini orang indonesia kurang aware terhadap mental diri sendiri, bagaimana cara mengatur mentalnya, jadi disini dosen saya selalu menyampaikan bahwa kita harus mempunyai mental serta sugesti yang baik. Di program ini juga saya mengangkat tentang berita-berita yang tidak terlalu menyeramkan untuk dibaca dan juga memberikan pendampingan tentang kesehatan mental, karena kalau mental kita itu terserang otomatis imunitas tubuh kita akan turun secara tidak langsung,” kata Fadil kepada RRI.co.id, Kamis (15/10/2020).
Ia pun menceritakan pengalamanya, saat terjun langsung dan berdialog dengan masyarakat di desa Pangalengan, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Menurutnya, masyarakat banyak mengeluhkan soal tekanan serta sugesti tentang bahaya dari covid-19 yang didapat dari berbagai pemberitaan yang diperoleh.
“ Kemarin saya bersama dosen pembimbing Bapak Yuliawan Kasmahidayat, turun ke daerah Pengalengan, disana saya mensosialisasikan kalau yang utamanya tuh kesehatan mental. Saya fokusnya di sugest karena saya lihat ada di wilayah tersebut ada orangnya yang sebelumnya sehat namun saat covid menyerang dia kehilangan pekerjaannya, kemudian dia menonton berita di televisi dan juga media sosial di telepon genggamnya tentang covid kemudian dia jatuh sakit bahkan tertekan mentalnya. Lalu saya ajak berdialog dengan orang tersebut ternyata tekanan dan sugestinya dari mental itu sendiri dan karena sudah termindset negatif sehingga imunnya menjadi turun,” tutur Fadil.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Maret 2020 lalu telah merilis panduan bagi masyarakat dunia untu bersama – sama menjaga kesehatan mental. Beberapa diantaranya adalah dengan menimbulkan empati antar sesame khususnya bagi orang yang terinfeksi covid-19. Selain itu juga menghilangkan stigma negative terhadap pasien covid-19.
Tak hanya itu, membatasi diri dari paparan berita hoax serta media sosial juga berperan penting untuk tetap menjaga kewarasan di masa pandemi ini. Tetap melindungi diri dan keluarga dengan melakukan 3M, yakni memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Serta memberikan dukungan kepada sesama khususnya tenaga medis yang menjadi garda terdepan di masa pandemi covid-19 ini.