Pada Sabtu,4 Juni 2016 yang lalu, mahasiswa kelas Konseling dan Psikoterapi kedatangan tamu Bapak Tri Swasono Hadi, M.Psi., Psikolog. Beliau adalah lulusan Magister Psikologi Klinis Dewasa, Universitas Indonesia yang kini menjadi praktisi di bidang konseling dan psikoterapi. Kali ini, sebagai bagian dari program Global Learning System, beliau berbagi mengenai terapi pasangan dan relevansinya bagi semua orang yang ingin menikah. Tentunya, materi ini menjadi menarik, karena bukan hanya menambah ilmu tentang teori konseling dan terapi pasangan, tetapi juga bisa diaplikasikan secara langsung oleh mahasiswa.
Bapak Tri membuka sesi kuliah tamu dengan menayangkan slide bergambar mobil. Ia menganalogikan pernikahan dengan pengemudi kendaraan. Sebelum bisa mengemudikan kendaraan, seseorang perlu belajar dan berlatih dahulu, sehingga akhirnya fasih mengemudikan kendaraan. Sama halnya dengan pernikahan, sebelum menikah, sebaiknya seseorang mengetahui ilmu tentang pernikahan serta melatih keterampilan yang dibutuhkan dalam pernikahan. Tentu saja, menikah lebih sulit daripada mengemudi, oleh karena itu jika seseorang tidak mengetahui ilmu tentang pernikahan, seperti peran peran suami istri, maka besar kemungkinan pernikahan akan gagal. Pembelajaran tentang hubungan romantis dan pernikahan tidak perlu dilakukan secara formal. Pembelajaran tentang hubungan sehat, bisa berlangsung dalam keluarga. Namun sayangnya, tidak semua keluarga memiliki keluarga yang sehat. Saat keluarga tidak sehat, maka besar kemungkinan hubungan anak akan bermasalah pula. Oleh karena itu, Bapak Tri menyarankan mahasiswa untuk mengecek latar belakang keluarga calon pasangan, sebelum berlanjut ke pernikahan.
Pengetahuan tentang pernikahan dan keterampilan yang dibutukan di dalammnya menjadi sangat penting. Seorang peneliti psikologi yang berlatar belakang ilmu matematika, John Gottman, menemukan bahwa terdapat 67% kemungkinan pernikahan berakhir dengan percerajan, dimana separuhnya berlangsung dalam 7 tahun pertama. Data di Indonesia juga menunjukkan bahwa antara tahun 2009-2013 perceraian cenderung meningkat meningkat, bahkan meningkat dari 216.286 kejadian di 2009 menjadi 324.527 kejadian. Sementara itu, perceraian bukanlah masalah utama dan satu-satunya dalam pernikahan. Permasalahan lain dalam pernikahan ialah perselingkuhan. Suatu penelitian di Amerika menemukan bahwa perselingkuhan terjadi pada 30-60% pasangan. Perselingkuhan lebih banyak dilakukan oleh wanita dan lebih banyak terjadi di tempat kerja. Dalam proses pemaafan, laki-laki cenderung lebih bisa memaafkan daripada perempuan. Di Indonesia sendiri, belum ditemukan penelitian sejenis. Masalah lain dalam pernikahan ialah kekerasan dalam rumah tangga, dimana data yang tersedia adalah data yang melapor. Sementara itu, masih banyak kejadian yang tidak dilaporkan, bagaikan gunung es yang terlihat puncaknya saja.
Melihat banyaknya tantangan untuk pernikahan, maka wajar jika berkembang konseling/terapi untuk pasangan. Bapak Tri menjelaskan bahwa terapi pasangan mulai berkembang di tahun 1942 yang ditandai dengan berdirinya American Association of Marriage Counselors, dengan tokoh penting antara lain Virginia Satir, Nathan Ackerman, Murray Bowen, dan Carl Whitker. Perkembangan terapi pasangan yang berkembang menjadi terapi keluarga, masih berlangsung hingga kini. Sejak tahun 1980, gerakan yang turut mempengaruhi perkembangan terapi pasangan dan keluarga antara lain: gerakan feminism, multiculturalis, dan post-modernism. Perkembangan terkini mengintegrasikan aspek neuroscience dalam teori hubungan dan pasangan.
Menurut Bapak Tri, hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi perkawinan paling tidak efektif dibandingkan jenis terapi lainnya. Hal ini karena terapi perkawinan merupakan jenis terapi yang paling menantang (dan sulit) dijalani. Kebanyakan terapis tidak menjalani pelatihan khusus dan supervisi tentang konseling perkawinan. Sehingga terjadi beberapa kesalahan umum yang biasa dilakukan, seperti tidak memiliki struktur, tidak memiliki rencana jelas untuk mengubah perkawinan, mudah menyerah, dan menganggap semua pasangan sama saja.
Setelah menjelaskan beberapa mitos tentang pernikahan, kemudian Bapak Tri menjelaskan ciri-ciri pernikahan yang sehat. Sebelumnya, beliau memberikan gambar 4 jenis nasi goreng dan menanyakan pada mahasiswa, mana yang paling enak? Poin pembelajaran dari gambar tersebut ialah: pernikahan itu seperti nasi goreng. Terdapat banyak jenis nasi goreng, dan masing-masing memiliki cita rasa sendiri. Sulit untuk menetapkan mana yang paling enak, karena setiap orang punya selera sendiri. Demikian juga dengan pernikahan, terdapat banyak jenis pernikahan dan tidak ada jenis perkawinan yang secara definitif lebih baik dari yang lain. Oleh karena itu, isu pernikahan bisa diselesaikan dengan banyak cara. Masing-masing jenis terapi akan memiliki efektivitas berbeda untuk tiap pasangan. Demikian juga, sama seperti nasi goreng yang memiliki kesamaan bahan dasar (misal: nasi, bawang, kecap) maka semua pernikahan yang sehat juga memilki fondasi atau dasar yang sama. Secara umum, Bapak Tri mengungkapkan setidaknya 4 prinsip untuk hubungan yang sehat, yaitu: safety (keadaan aman, tidak saling menyakiti), understanding (pasangan bisa saling memahami), fun (ada unsur keceriaan dalam hubungan yang dijalani) dan influence (pasangan bisa saling mempengaruhi ke arah yang lebih positif).
Bapak Tri juga memaparkan beberapa masalah umum yang terjadi dalam hubungan berpasangan. Masalah pertama ialah tidak mampu menjaga gairah, selanjutnya tidak mampu saling memahami dan bekerja sama, tidak mampu mengelola perbedaan dan konflik, serta memiliki pola saling ketergantungan yang tidak sehat. Nah, apakah kamu memiliki salah satu masalah tersebut dengan pasangan? Sebaiknya waspada dan segera mencari bantuan professional.
Sebagai penutup, Bapak Tri membagikan lima prinsip dasar terapi hubungan yang efektif. Terapis pasangan bukan sekedar wasit yang menengahi dua insan yang sedang berkonflik. Pertama, terapis bertugas mengubah perspektif pasangan tentang hubungan, selanjutnya mengubah perilaku disfungsional yang terjadi dalam hubungan tersebut, mengurangi penghindaran emosional, meningkatkan komunikasi yang sehat antar pasangan, dan memperkuat aspek positif. Bapak Tri menjelaskan poin-poin tersebut dengan beberapa aktifitas yang fun, dan memberikan insight. Perkuliahan ditutup dengan memberikan tugas merangkum isi perkuliahan, serta mewawancarai orangtua tentang peran suami dan peran istri, lalu membandingkan jawaban tersebut dengan pendapat pribadi mahasiswa. Akhir kata, kuliah umum tentang Terapi Pasangan ini tidak hanya menambah ilmu pengetahun tentang terapi/konseling pasangan, tetapi juga menjadi ajang evaluasi diri dan hubungan yang sedang dijalani. Begitulah kehidupan mahasiswa psikologi, sebelum menjadi konselor, sangat diperlukan kesadaran tentang nilai-nilai pribadi yang dipegang. Semoga mahasiswa yang hadir memperoleh manfaat maksimal dari kuliah umum ini! Sekali lagi terima kasih pada Bapak Tri Swasono Hadi, M.Psi., Psikolog yang telah meluangkan waktu di Sabtu pagi.